CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Agustus 04, 2008

Values of appearance

Langit begitu cerah tanpa ada segumpal awanpun nampak dari balik jendela bus yang kutumpangi dalam perjalanan pulang sore itu. Aku duduk sendiri di kursi dua deretan ke tiga dari pintu depan, tadinya aku duduk di kursi tiga deretan ke tiga dari belakang sejak dari terminal. Begitu tiba di Mengger penumpang mulai berkurang, aku pindah ke kursi dua, sebenarnya, aku paling suka jika duduk didekat jendela yang mengarah pandangan ke pegunungan di sebelah kanan bus jika hendak pulang. Karena semua kursi tiga rata-rata ada penumpangnya, maka akhirnya aku duduk disebelah kiri, meski dengan sedikit kurang nyaman, tapi aku masih bisa melihat pemandangan lain, dan menatap keluar jendela,

Bus terus melaju diatas jalan raya yang berliku dan berbelok dan sesekali berpapasan dengan bus lain yang menuju Serang dan Jakarta. Tiba di Pasar Maja yang memang terletak di kedua bahu jalan (sebenarnya itu hanya deretan toko-toko yang memang ramai karena memang perempatan jalan yang menghubungkan desa Cibiuk dengan Pusat Kota Pandeglang) tepat pukul 15.56, buspun berhenti untuk menurunkan beberapa orang penumpang. Lamunanku buyar, saat salah seorang pengamen bertubuh tinggi melintas disampingku, dan berdiri disamping kursi yang ada di depanku, kemudian membuka konser mereka dengan mengucapkan salam

assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh...”

wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh...” jawab pengamen satunya lagi yang memakai topi dengan suara yang sebenarnya biasa saja, namun begitu menusuk saat mendengarnya. Akupun terhenyak menyadari bahwa tak seorangpun di bus yang menjawab salam itu. Padahal, aku perhatikan bahwa mereka semua sedang terjaga dan tidak sedang tidur, tapi tak seorangpun membuka mulut untuk menjawabnya.

Miris, malu, heran, bercampur memenuhi ruang jiwa yang sepi sentuhan religi. Beginikah realitas yang terjadi dilingkup kecil ini? Suara pengamen itu terus mengalir menemani perjalanan pulang sore itu saat aku tersadar bahwa akupun tak menjawab salam itu!! Apa yang kulakukan sepanjang moment itu, kemana aku? Aku pikir aku menjawab salam itu dalam hatiku. Dan akhirnya aku menemukan keadaanku tak jauh beda dengan semuanya. Tapi saat itu aku sedang menahan rasa nyeri yang kurasa menyiksaku, sakit yang kupikir membunuhku secara pelan. Ini hari pertamaku. Ah, selalu mencari pembelaan! Aku tak bisa menikmati perjalananku, aku begitu sibuk dengan sensasi rasa yang aku rasa sendiri, aku ingin cepat sampai rumah dan merebahkan tubuhku agar aku bisa hilangkan kesadaranku.

Ketika aku diskusikan hal ini saat makan malam bersama keluargaku esoknya, ayahku berkata

“ya mungkin males lihat penampilan mereka yang kayak pemakai dan tukang mabok”.

“tapi kan jawab salam itu wajib” kata ibuku “dari siapapun, karena salam itu ya do’a...” lanjut ibu dengan bijak.

Malam itu aku menyadari dan berjanji dalam hati bahwa setiap do’a yang keluar dari orang lain adalah tetap do’a, bukan umpatan ataupun hinaan apalagi lelucon. Jadi, akan aku jawab selalu salam yang kudengar dimanapun itu.

0 komentar: