CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Agustus 05, 2008

Tak sekedar kata tanya


Saya lahir dan besar di daerah terpencil jauh dari keramaian kota. Tepatnya di Kecamatan Pagelaran Propinsi Banten. Saya adalah IYLP angkatan 2005 dari Banten. Ketika mendapat pesan singkat dari Ardi, Pemred VOI untuk Majalah edisi sekarang ini, saya sedang berada di dalam bus jurusan Jakarta-Labuan. Membuat saya tersenyum geli. Bukan karena isi pesannya, tapi akan keteledoran saya. Sebenarnya sebelumnya saya sudah ada komunikasi dengan Aziz dan Zulham mengenai VOI, dan saya berjanji akan mengirimkan coretan-coretan kecil saya, akan tetapi begitu banyak hal yang membuat saya menunda untuk mulai menulis. Ternyata, sekarang saya baru menyadari bahwa penundaan hal yang kecil sekalipun akan berakibat fatal. Yahh… mulai sekarang tak ada lagi penundaan. Harus dimuali sekarang, dan saat ini!!!
Sudah menjadi kegiatan rutin saya, bahwa setiap minggu pulang ke rumah. Upss, lupa, setelah lulus dari sekolah, saya melanjutkan pendidikan saya di perguruan tinggi di kota Serang. Saya kuliah di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten atau disingkat IAIN ‘SMH’ Banten. Saya mengambil jurusan Tadris Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah, dan sekarang saya berada di semester kelima. Walau saya tinggal di kost yang berjarak ± 100 m dari kampus, setiap minggunya saya mesti pulang kampung, meski ada teman yang mengatakan “pulang kampung kok mingguan, kaya bulletin aja kamu tu ...” yah, apapun itu, saya mesti pulang. Bukannya tidak mau lebih lama di serang, atau tidak punya kegiatan di serang. Terlebih saat ini saya gabung di Lebaga Pers Kampus (LPM) SiGMA, tempat dimana saya ikut kegiatan internal kampus, yang pastinya butuh selalu ada disana dan ga’ jauh dari layar komputer dan lapangan. Belum lagi ditambah kegiatan di kelas yang membuat pikiran selalu dipenuhi oleh tugas, dan tugas. Ya, tak sesibuk teman-teman yang lain si, tapi kadang-kadang membuat saya ingin menangis (cengeng memang), namun, saya tetap percaya, bahwa semuai ini akan berguna nantinya, dan saya menikmati semua itu.
Alasan mengapa selalu pulang tiap minggu, kecuali kalau ada kegiatan penting itu adalah, bahwa saya punya kegiatan rutin yang dilakukan di rumah setiap akhir pekan. Yaitu belajar bersama anak-anak yang ada di sekitar rumah. Karena melihat realita yang ada di kampung yang 80% masyarakatnya adalah tidak bisa menikmati pendidikan. dan generasi mudanya yang dikhawatirkan terjerumus pada pergaulan yang kurang sehat. Sebenarnya, keinginan untuk itu sudah ada sejak dulu, terlebih setelah ikut IYLP, rasa ingin mengabdi untuk masyarakat di lingkungan tempat tinggal semakin membara. Namun pada akhir Agustus 2007 ning baru bisa melakukan hal itu. Pada awalnya, agak susah, namun, akhirnya saya bisa tersenyum lega ketika mereka selalu antusias mengikuti kegiatan yang diadakan. Dengan belajar menulis, membaca, bernyanyi, dan mengaji serta game lainnya.. saya harap kedepannya setidaknya bisa membawa perubahan di masyarakat kelak. Dan orang tua sangat mendukung sekali kegiatan ini.

Lanjut lagi mengenai perjalanan saya dari serang menuju labuan.

Karena tipa minggu musti balik ke rumah, secara otomatis, tiap minggu mesti naik bus yang akan membawa ning menuju rumah. Dan biasanya, ning pulang dari kampus langsung menuju terminal sekitar pukul setengah tiga-an dimana rasa lelah begitu terasa setelah dari pagi hari melakukan aktifitas di kampus. Suasana di terminal yang terik, juga debu yang beterbangan memenuhi atmosfer, sangat menyesakkan dan menyebalkan, belum lagi suara klakson dan juga pertanyaan-pertanyaan dari para calo, menambah daftar ‘penderitaan’ yang saat itu sangat capek. Ketika baru saja duduk di kursi bus yang pengap dan panas, tiba-tiba para seniman jalanan ikut menyemarakkan suasana panas dalam bus. Menambah daftar panjang penderitaan yang ning rasakan, mungkin teman-teman yang lainnyapun pernah merasakan hal yang sama, atau lebih parah. Saat pikiran begitu penuh dengan beban, jadi tambah berat dengan suara petikan gitar juga tabuhan drum serta lalulalangnya para pedagang asongan bahkan tak jarang ada pengamen yang memaksa penumpang untuk memberi uang. Rasanya ingin marah, tapi marah pada siapa? Merekapun butuh makan. Jadinya hanya bisa menarik nafas dengan sebal sambil menggerutu dalam hati, meski tau itu tidak benar. Dan kejadian itu selalu berulang setiap kali pulang ataupun berangkat ke kampus dari rumah. Dan jarak dari serang ke rumah ± 23 km, dan biasanya memakan waktu 2 jam. Tadinya saya berpikir mungkin benar ini yang bisa mereka lakukan, meski kalau dilihat dari segi fisik, mereka bisa mendapatkan yang lebih layak daripada sekedar mengamen. Tapi yang mengejutkan, suatu hari saya pernah melihat ada seorang pengamen yang saya kenal siapa dia. Dia mengamen diatas bus, yang saya tumpangi. Dia adalah seorang anak pengusaha sukses yang terkenal di kota Menes. Dari sana saya mulai menyadari ternyata banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi pengamen, bukan hanya karena faktor ekonomi belaka, namun juga karena hobi, bahkan aji mumpung. Sungguh terlalu!!!
Hal ini muncul dan menjadi fenomena yang bisa dengan mudah dapat kita lihat di setiap pelosok, apa lagi di kota besar kali ya?? Menurut salah satu harian umum daerah di Banten, selain faktor ekonomi yang semakin sulit sehingga kurangnya lapangan kerja yang bisa menampung mereka, juga kurangnya perhatian dari masyarakatnya sendiri, serta tidak adanya keterampilan yang mendukung yang mereka punyai, sehingga pemandangan seperti ini dengan mudah banyak didapati (pengamen serta pengemis, dan bahkan gelandangan).
Sebagai generasi penerus, tentunya kita sangat prihatin dengan situasi seperti itu. Apa jadinya bangsa Indonesia dimasa depan nanti. Walaupun pemerintah telah melakukan banyak program untuk memberantas kemiskinan, namun, di daaerah saya belum begitu terasa. Terbukti dengan banyaknya pengangguran serta meningkatnya angka kriminalitas di masyarakat. Ada banyak rumusan untuk setidaknya bisa mengurangi masalah itu, diantaranya: Untuk masalah kurangnya lapangan kerja serta tidak adanya keterampilan yang dimiliki
  • Saatnya membuka lapangan kerja baru dengan meningkatkan keterampilan yang dimiliki setiap anggota masyarakat. Dengan melakukan kegiatan dalam mengasah dan memberikan keterampilan yang nantinya bisa menjadi bekal dalam menjalani usahanya. Dengan begitu akan membuka lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja. Jadi bukan hanya mencari pekerjaaan dengan melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Tapi dengan membuka peluang kerja baik itu industri kecil maupun rumah tangga.
  • Dan saatnya masyarakat membuka mata dan lebih peka terhadap anggota masyarakat lainnya yang ada disekitar mereka. Karena mereka adalah bagian dari kita, dan merekapun perlu dihargai meski mereka berada dibawah kita. Mereka perlu diakui dan sangat butuh untuk diperhatikan.

So, kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, Karen tak ada yang salah.
Saat mulai melihat bahwa sebentar lagi aku harus turun, sambil melangkah untuk memberhentikan bus di gang depan, terbesit harap dalam hati, supaya suatu saat nanti pemerintah akan memberlakukan peraturan yang melarang para pengamen beroperasi didalam angkutan umum. Tentunya setelah semuanya sudah siap, tapi kapan ya…??

0 komentar: