CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Agustus 08, 2008

Sebagian ingatan



Kini baru aku menyadari kau begitu berarti di dalam hidupku ini

Saat-saat yang indah saat masih bersamamu waktu kita berdua dan mewanai dunia

Semua yang telah berlalu kini teringat lagi, kini terkenang lagi, ku ingin kembali,...

(Rama Band,)

Hal yang membuatku merasa bahagia adalah saat aku bisa membuat orang tersenyum bahagia dan menjadikan mereka bangga padaku. Ntahlah, namun itulah yang aku rasakan.

Waktu aku kecil, aku paling bahagia saat aku dipuji oleh Ibu. Entah karena hal apapun itu. Aku akan merasa sangat puas jika ibu memuji dan membelaku ketimbang mba’ Ray, satu-satunya kakak perempuan yang aku punyai. Mungkin karena jarak kelahiran kami yang tak begitu jauh, sehingga sering kali aku berselisih paham dengannya, bahkan terkadang ada perasaan iri padanya. Dan aku pikir ia pun sama, karena seingatku ia paling ga’ bisa ga’ kasih tau ibu kalo aku maen ma temen-temen aku. Yang kalo Ibu tau pastinya aku bakal diomelin. Makanya, ia sering ancem aku bakal bilang ke Ibu kalo aku ga mau nurutin perintahnya. Atau, dulu waktu kelas tiga-empat_an lah, aku dapet surat, eh... dijadiin alasan wat ia nyuruh-nyuruh aku dengan kesepakatan bahwa ia ga bakal bilang ma Ibu. Sialnya aku dulu, mau aja ngikutin permainannya. He.he.. tapi tetep, she is the best sister that I have (secara, she is the first daughter kale…). Ia adalah panutan bagi aku adeknya, menjadi sumber inspirasi di keluarga kami. She is so very smart, active, confidence, flexible, and, good sister meski kadang menjengkelkan.

Dulu, waktu masih kuliah di Serang (sekarang ambil pasca sarjana di UM), tiap kali pulang ke rumah bagi aku adalah petaka. Soalnya kalo ada di rumah begitu dateng pasti ngomel-ngomel dulu. Rumah yang berantakanlah, inilah, itulah, ada.. aja alasan wat nyuruh aku beresin semua. Padahal aku juga baru dateng dari sekolahan. Sama aja lelah. Tapi walo ngedumel ma uring-uringan tetep aja aku beresin semua. Soalnya kalo aku ngebantah ia, kadang ia suka nangis sambil ngomong “ia teteh mah emang ga bisa jadi kakak yang ginilah, gitulah…” yang pada akhirnya bakal bikin aku ga enak hati aja makanya, aku mengalah. Apa sich yang engga wat mba’ Ray..? he.he…

Lucu, kalo inget. Tapi dulu boro-boro lucu. Gedek banget tau, bahkan kadang aku kalo dimintai tolong gak mau. Sekarang kerasa deh, aku digituin ma adekku, yang paling susah ni adek aku yang paling kecil. Kalo dimintai tolong susahnya minta ampun, pake syarat pula.... cape dey... tau gak syaratnya apaan ?

To be continue ya…

Agustus 05, 2008

Tak sekedar kata tanya


Saya lahir dan besar di daerah terpencil jauh dari keramaian kota. Tepatnya di Kecamatan Pagelaran Propinsi Banten. Saya adalah IYLP angkatan 2005 dari Banten. Ketika mendapat pesan singkat dari Ardi, Pemred VOI untuk Majalah edisi sekarang ini, saya sedang berada di dalam bus jurusan Jakarta-Labuan. Membuat saya tersenyum geli. Bukan karena isi pesannya, tapi akan keteledoran saya. Sebenarnya sebelumnya saya sudah ada komunikasi dengan Aziz dan Zulham mengenai VOI, dan saya berjanji akan mengirimkan coretan-coretan kecil saya, akan tetapi begitu banyak hal yang membuat saya menunda untuk mulai menulis. Ternyata, sekarang saya baru menyadari bahwa penundaan hal yang kecil sekalipun akan berakibat fatal. Yahh… mulai sekarang tak ada lagi penundaan. Harus dimuali sekarang, dan saat ini!!!
Sudah menjadi kegiatan rutin saya, bahwa setiap minggu pulang ke rumah. Upss, lupa, setelah lulus dari sekolah, saya melanjutkan pendidikan saya di perguruan tinggi di kota Serang. Saya kuliah di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten atau disingkat IAIN ‘SMH’ Banten. Saya mengambil jurusan Tadris Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah, dan sekarang saya berada di semester kelima. Walau saya tinggal di kost yang berjarak ± 100 m dari kampus, setiap minggunya saya mesti pulang kampung, meski ada teman yang mengatakan “pulang kampung kok mingguan, kaya bulletin aja kamu tu ...” yah, apapun itu, saya mesti pulang. Bukannya tidak mau lebih lama di serang, atau tidak punya kegiatan di serang. Terlebih saat ini saya gabung di Lebaga Pers Kampus (LPM) SiGMA, tempat dimana saya ikut kegiatan internal kampus, yang pastinya butuh selalu ada disana dan ga’ jauh dari layar komputer dan lapangan. Belum lagi ditambah kegiatan di kelas yang membuat pikiran selalu dipenuhi oleh tugas, dan tugas. Ya, tak sesibuk teman-teman yang lain si, tapi kadang-kadang membuat saya ingin menangis (cengeng memang), namun, saya tetap percaya, bahwa semuai ini akan berguna nantinya, dan saya menikmati semua itu.
Alasan mengapa selalu pulang tiap minggu, kecuali kalau ada kegiatan penting itu adalah, bahwa saya punya kegiatan rutin yang dilakukan di rumah setiap akhir pekan. Yaitu belajar bersama anak-anak yang ada di sekitar rumah. Karena melihat realita yang ada di kampung yang 80% masyarakatnya adalah tidak bisa menikmati pendidikan. dan generasi mudanya yang dikhawatirkan terjerumus pada pergaulan yang kurang sehat. Sebenarnya, keinginan untuk itu sudah ada sejak dulu, terlebih setelah ikut IYLP, rasa ingin mengabdi untuk masyarakat di lingkungan tempat tinggal semakin membara. Namun pada akhir Agustus 2007 ning baru bisa melakukan hal itu. Pada awalnya, agak susah, namun, akhirnya saya bisa tersenyum lega ketika mereka selalu antusias mengikuti kegiatan yang diadakan. Dengan belajar menulis, membaca, bernyanyi, dan mengaji serta game lainnya.. saya harap kedepannya setidaknya bisa membawa perubahan di masyarakat kelak. Dan orang tua sangat mendukung sekali kegiatan ini.

Lanjut lagi mengenai perjalanan saya dari serang menuju labuan.

Karena tipa minggu musti balik ke rumah, secara otomatis, tiap minggu mesti naik bus yang akan membawa ning menuju rumah. Dan biasanya, ning pulang dari kampus langsung menuju terminal sekitar pukul setengah tiga-an dimana rasa lelah begitu terasa setelah dari pagi hari melakukan aktifitas di kampus. Suasana di terminal yang terik, juga debu yang beterbangan memenuhi atmosfer, sangat menyesakkan dan menyebalkan, belum lagi suara klakson dan juga pertanyaan-pertanyaan dari para calo, menambah daftar ‘penderitaan’ yang saat itu sangat capek. Ketika baru saja duduk di kursi bus yang pengap dan panas, tiba-tiba para seniman jalanan ikut menyemarakkan suasana panas dalam bus. Menambah daftar panjang penderitaan yang ning rasakan, mungkin teman-teman yang lainnyapun pernah merasakan hal yang sama, atau lebih parah. Saat pikiran begitu penuh dengan beban, jadi tambah berat dengan suara petikan gitar juga tabuhan drum serta lalulalangnya para pedagang asongan bahkan tak jarang ada pengamen yang memaksa penumpang untuk memberi uang. Rasanya ingin marah, tapi marah pada siapa? Merekapun butuh makan. Jadinya hanya bisa menarik nafas dengan sebal sambil menggerutu dalam hati, meski tau itu tidak benar. Dan kejadian itu selalu berulang setiap kali pulang ataupun berangkat ke kampus dari rumah. Dan jarak dari serang ke rumah ± 23 km, dan biasanya memakan waktu 2 jam. Tadinya saya berpikir mungkin benar ini yang bisa mereka lakukan, meski kalau dilihat dari segi fisik, mereka bisa mendapatkan yang lebih layak daripada sekedar mengamen. Tapi yang mengejutkan, suatu hari saya pernah melihat ada seorang pengamen yang saya kenal siapa dia. Dia mengamen diatas bus, yang saya tumpangi. Dia adalah seorang anak pengusaha sukses yang terkenal di kota Menes. Dari sana saya mulai menyadari ternyata banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi pengamen, bukan hanya karena faktor ekonomi belaka, namun juga karena hobi, bahkan aji mumpung. Sungguh terlalu!!!
Hal ini muncul dan menjadi fenomena yang bisa dengan mudah dapat kita lihat di setiap pelosok, apa lagi di kota besar kali ya?? Menurut salah satu harian umum daerah di Banten, selain faktor ekonomi yang semakin sulit sehingga kurangnya lapangan kerja yang bisa menampung mereka, juga kurangnya perhatian dari masyarakatnya sendiri, serta tidak adanya keterampilan yang mendukung yang mereka punyai, sehingga pemandangan seperti ini dengan mudah banyak didapati (pengamen serta pengemis, dan bahkan gelandangan).
Sebagai generasi penerus, tentunya kita sangat prihatin dengan situasi seperti itu. Apa jadinya bangsa Indonesia dimasa depan nanti. Walaupun pemerintah telah melakukan banyak program untuk memberantas kemiskinan, namun, di daaerah saya belum begitu terasa. Terbukti dengan banyaknya pengangguran serta meningkatnya angka kriminalitas di masyarakat. Ada banyak rumusan untuk setidaknya bisa mengurangi masalah itu, diantaranya: Untuk masalah kurangnya lapangan kerja serta tidak adanya keterampilan yang dimiliki
  • Saatnya membuka lapangan kerja baru dengan meningkatkan keterampilan yang dimiliki setiap anggota masyarakat. Dengan melakukan kegiatan dalam mengasah dan memberikan keterampilan yang nantinya bisa menjadi bekal dalam menjalani usahanya. Dengan begitu akan membuka lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja. Jadi bukan hanya mencari pekerjaaan dengan melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Tapi dengan membuka peluang kerja baik itu industri kecil maupun rumah tangga.
  • Dan saatnya masyarakat membuka mata dan lebih peka terhadap anggota masyarakat lainnya yang ada disekitar mereka. Karena mereka adalah bagian dari kita, dan merekapun perlu dihargai meski mereka berada dibawah kita. Mereka perlu diakui dan sangat butuh untuk diperhatikan.

So, kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, Karen tak ada yang salah.
Saat mulai melihat bahwa sebentar lagi aku harus turun, sambil melangkah untuk memberhentikan bus di gang depan, terbesit harap dalam hati, supaya suatu saat nanti pemerintah akan memberlakukan peraturan yang melarang para pengamen beroperasi didalam angkutan umum. Tentunya setelah semuanya sudah siap, tapi kapan ya…??

Agustus 04, 2008

Values of appearance

Langit begitu cerah tanpa ada segumpal awanpun nampak dari balik jendela bus yang kutumpangi dalam perjalanan pulang sore itu. Aku duduk sendiri di kursi dua deretan ke tiga dari pintu depan, tadinya aku duduk di kursi tiga deretan ke tiga dari belakang sejak dari terminal. Begitu tiba di Mengger penumpang mulai berkurang, aku pindah ke kursi dua, sebenarnya, aku paling suka jika duduk didekat jendela yang mengarah pandangan ke pegunungan di sebelah kanan bus jika hendak pulang. Karena semua kursi tiga rata-rata ada penumpangnya, maka akhirnya aku duduk disebelah kiri, meski dengan sedikit kurang nyaman, tapi aku masih bisa melihat pemandangan lain, dan menatap keluar jendela,

Bus terus melaju diatas jalan raya yang berliku dan berbelok dan sesekali berpapasan dengan bus lain yang menuju Serang dan Jakarta. Tiba di Pasar Maja yang memang terletak di kedua bahu jalan (sebenarnya itu hanya deretan toko-toko yang memang ramai karena memang perempatan jalan yang menghubungkan desa Cibiuk dengan Pusat Kota Pandeglang) tepat pukul 15.56, buspun berhenti untuk menurunkan beberapa orang penumpang. Lamunanku buyar, saat salah seorang pengamen bertubuh tinggi melintas disampingku, dan berdiri disamping kursi yang ada di depanku, kemudian membuka konser mereka dengan mengucapkan salam

assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh...”

wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh...” jawab pengamen satunya lagi yang memakai topi dengan suara yang sebenarnya biasa saja, namun begitu menusuk saat mendengarnya. Akupun terhenyak menyadari bahwa tak seorangpun di bus yang menjawab salam itu. Padahal, aku perhatikan bahwa mereka semua sedang terjaga dan tidak sedang tidur, tapi tak seorangpun membuka mulut untuk menjawabnya.

Miris, malu, heran, bercampur memenuhi ruang jiwa yang sepi sentuhan religi. Beginikah realitas yang terjadi dilingkup kecil ini? Suara pengamen itu terus mengalir menemani perjalanan pulang sore itu saat aku tersadar bahwa akupun tak menjawab salam itu!! Apa yang kulakukan sepanjang moment itu, kemana aku? Aku pikir aku menjawab salam itu dalam hatiku. Dan akhirnya aku menemukan keadaanku tak jauh beda dengan semuanya. Tapi saat itu aku sedang menahan rasa nyeri yang kurasa menyiksaku, sakit yang kupikir membunuhku secara pelan. Ini hari pertamaku. Ah, selalu mencari pembelaan! Aku tak bisa menikmati perjalananku, aku begitu sibuk dengan sensasi rasa yang aku rasa sendiri, aku ingin cepat sampai rumah dan merebahkan tubuhku agar aku bisa hilangkan kesadaranku.

Ketika aku diskusikan hal ini saat makan malam bersama keluargaku esoknya, ayahku berkata

“ya mungkin males lihat penampilan mereka yang kayak pemakai dan tukang mabok”.

“tapi kan jawab salam itu wajib” kata ibuku “dari siapapun, karena salam itu ya do’a...” lanjut ibu dengan bijak.

Malam itu aku menyadari dan berjanji dalam hati bahwa setiap do’a yang keluar dari orang lain adalah tetap do’a, bukan umpatan ataupun hinaan apalagi lelucon. Jadi, akan aku jawab selalu salam yang kudengar dimanapun itu.