CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Juni 24, 2008

Aku bagimu

Aku bukan embun yang menyejukkan
Aku bukan hujan yang bisa membasuh derita bumi
Aku bukan air yang mampu menghilangkan haus
Bukan aliran sungai yang kan membawa harap menuju samudra
Aku hany bisa berharap, itulah aku bagimu

Hilang

aku pernah kehilangan
menyakitkan!
siapa yang mau?
lantas hendak kemana aku alirkan cerita
saat tiada seorangpun bersamaku?
haruskah menyesali ucap yang pernah ada?
engkau ada dimana kini?

Juni 23, 2008

Karena Engkau adalah seorang Ibu

Photobucket

Perjalanan pulang kali ini serasa tak ada yang berbeda dengan kepulanganku sebelum-sebelumnya, semua sama pada awalnya. Aku menunggu bus lewat di lampu merah Ciceri, karena kalo sore bus bisa masuk kota, jadi tak mesti pergi ke Terminal Pakupatan terlebih dahulu. Setelah sekitar setengah jam aku menunggu bus, akhirnya bus datang. Tadinya aku sempat berpikir bahwa bus sore ini tak lewat jalur ini karena merasa aku menunggu sudah lumayan lama tapi tak ada satupun bus yang terlihat, khawatir lewat jalur biasa karena memang ada acara di KP3B yang dilewati. Tapi syukurlah akhirnya bus datang juga.

Kursi bus ternyata sudah penuh penumpang hingga ada beberapa penumpang yang berdiri, tentu aku adalah salah satunya. Sempat berangan akan ada orang baik yang menawarkan tempat duduknya seperti minggu kemarin, karena aku terlalu lama berdiri. Namun aku tau hari ini tak ada. Karena mayoritas penumpang adalah perempuan, dan hanya beberapa orang pria. Aku coba menikmati perjalanan pulangku dengan memusatkan perhatianku melihat keluar jendela, menikmati suasana sore hari yang cerah, penumpang semakin bertambah sehingga akupun bergeser semakin tenggelam dalam deretan kelelahan penghujung hari yang melelahkan. Saat jiwaku sedang keluar dari situasi disekitarku, aku disadarkan oleh pembicaraan penumpang yang berdiri disampingku. Ia sedang berbicara dengan seorang wanita yang menggendong bayinya di kursi dibelakangku. Dengan reflek aku menoleh kebelakang karena mendengar godaan perempuan itu pada si bayi. Aku terkesiap, tertegun saat melihat bayi itu, sungguh lucu, sangat lucu. dengan lincahnya si bayi bergerak dan ngoceh serta lirikan matanya yang sangat indah dan menggemaskan serta beningnya mata itu. Sungguh bayi yang imut. Dengan pipi chubby dan kulit bersihnya ia membuat aku ingin menyentuh dan mencubit pipinya. Sang ibu terlihat begitu senang dengan senyuman yang terus menghiasi bibirnya serta meladeni pertanyaan penumpang disampingku tadi.

Tanpa aku sadari bagaimana mulanya, yang aku tau, aku telah turut gabung dengan pembicaraan dua wanita itu. Dari sana, aku bisa menemukan kembali kasih ibu. Seorang ibu pada anaknya. Dari penampilan dan gaya bicara si ibu, aku tau ia dari keluarga biasa dan memang sangat sederhana, toh kaya maupun miskin tak bisa menjamin seseorang bahagia atau menderita. Dengan ekonomi pas-pasan, si ibu dan suaminya membesakan baru dua anak. ”Yang pertama baru empat tahun” kata si ibu, ”dede bayi ini berapa bulan bu?” tanyaku. ”enam bulan” jawab si ibu, lalu ia pun menceritakan walau dari keluarga yang sederhana, si bayi pernah menjadi juara ketika ada perlombaan bayi di tempatnya dan mendapat uang dari lomba itu. Hal itu aku pikir sangat wajar, karena melihat postur si bayi yang terlihat sehat dan lincah. Si ibu menceritakan bahwa ada sepasang suami-istri yang berniat untuk membesarkan si bayi dengan memberi imbalan orang tua bayi uang sebesar dua juta rupiah. Uang yang cukup besar untuk orang sekelas mereka. Namun toh walau hidup pas-pasan, si ibu menolak untuk memberikan bayinya pada orang tadi. Walau apapun, saya akan tetap mempertahankan bayi saya, begitu ungkapnya, saya tak ingin jauh dari anak saya.

Begitu mulia hati seorang ibu. Hati yang penuh kelembutan dan cinta kasih. Cinta yang tak akan padam sepanjang masa, cinta yang tak bersyarat, cinta yang tak pernah lelah, ia selalu menerangi disetiap denyut kehidupan. Belaian lembut seorang ibu, curahan kasihnya, adalah sumber kehidupan bagi anaknya. Kebahagiaan seorang ibu adalah ketika melihat anaknya tersenyum bahagia, meski lelah mendera tubuhnya. Teringat kisah Siti Hajar yang berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk mencari setetes air di tengah gurun pasir yang tandus dan sepi, yang tak ada orang lain disana untuk anaknya yang kehausan. Betapa perjuangan seorang ibu sungguh teramat mengagumkan, keagungan seorang ibu yang tak ada gantinya.

Aku jadi ingat ibuku di rumah. Ia adalah wanita terbaik yang Tuhan beri untuk menjadi ibuku. Ibu akan melakukan apapun untuk aku, anaknya. Tak peduli bagaimana dengan dirinya, yang ibu pikirkan adalah bagaimana anaknya. Namun aku sering kali melukainya dengan sikap egoku dan kenakalanku. Ah, mulianya hatimu ibu. Ketulusan dan kasih sayangmu membuat aku tak berati apa-apa, aku tak akan bisa apa-apa tanpa dirimu. Betapa seringnya aku tanpa hal yang jelas membuat suasana di rumah tak nyaman, namun dengan kesabaranmu, engkau mencairkan endapan emosiku yang labil. Membawaku pada suasana yang membuat aku terus ingin bersamamu. Maafkan aku yang tak pernah peduli dengan kelelahanmu, air mata yang mengalir dalam do’a kudus disetiap munajatmu pada-Nya. Mom, I Luv U so much.

Untuk usia yang masih tersisa dalam hembusan nafas yang masih ada

Demi cinta yang mendera jiwa dalam rindu yang menggebu

Aku, ikrarkan

Akan ku baktikan seluruhnya untukmu

Karena engkau adalah seorang Ibu

Dan aku, calon seorang Ibu

Juni 09, 2008

Aku dan sepiku

Jangan kau tanyakan lagi kabarku, begitupun hatiku

Karena tak akan ada yang kan terucap, karena sungguh pun kau tau, tak ka nada yang berubah

Sesal ini membangunkanku dari mimpi yang melenakan

Meski merobek sketsa yang sempat tergores dalam jiwa

Hanya bisa terdiam

Adakah kau tau, dalam diam aku berkata, dalam hening ku bercerita

Hingga hanya bisa terdengar oleh desir angin.

Aku sendiri, dalam sempitnya jiwa yang terlena.

Rabu, 21 Mei 08